Kasus Firli Bahuri Harus Dihentikan, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Kembalikan SPDP ke Polda Metro Jaya

Foto Khusus

Jakarta, 28 Januari 2025 – Kasus dugaan pemerasan mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, terhadap Sahrul Yasin Limpo (SYL) menemui jalan buntu. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengembalikan Surat Perintah Dimulai Penyidikan (SPDP) kepada Polda Metro Jaya (PMJ). Hal ini menunjukkan kegagalan penyidik PMJ dalam melengkapi alat bukti yang dibutuhkan, menurut Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH, MH.

Prof. Suparji menilai, kekurangan alat bukti ini menjadi dasar kuat bagi PMJ untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Beliau menjelaskan tiga alasan utama penerbitan SP3: kekurangan alat bukti, bukan merupakan peristiwa pidana, dan penghentian demi hukum (kadaluarsa atau kematian tersangka). Dalam kasus Firli Bahuri, kekurangan alat bukti menjadi poin krusial.

Pengembalian SPDP oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, menurut Prof. Suparji, menunjukkan adanya pelambanan dalam memenuhi petunjuk Jaksa dan keengganan Jaksa untuk memikul beban perkara yang kurang bukti. Jaksa, sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam persidangan, tidak ingin terbebani dengan kasus yang lemah secara bukti. Hal ini juga, menurut beliau, bertentangan dengan rasa keadilan.

Prof. Suparji menekankan pentingnya alat bukti yang kuat dan berkualitas dalam proses hukum. Fakta, tegasnya, tidak bisa direkayasa, melainkan direkonstruksi berdasarkan bukti-bukti yang valid dan sesuai kenyataan. Dalam kasus dugaan suap atau gratifikasi, harus ada bukti nyata yang menunjukkan peristiwa pidana tersebut, termasuk kesaksian langsung dan bukti tertulis yang menunjukkan kapan dan di mana peristiwa terjadi.

Karena kurangnya alat bukti yang kuat, Jaksa tidak memiliki keyakinan akan kebenaran materiil kasus ini, sehingga mengembalikan berkas perkara kepada penyidik PMJ. Prof. Suparji mempertanyakan kemampuan penyidik dalam melengkapi berkas perkara. Apakah memang tidak ada alat bukti, atau belum ditemukan? Beliau menyimpulkan bahwa alat bukti harus ditemukan, bukan dicari, dan harus nyata adanya, bukan hasil rekayasa. Jika memang alat bukti tidak ada, maka penghentian kasus melalui SP3 adalah langkah yang tepat. (Jal)